Etos Kerja Dalam Perspektif Islam
A. Pengertian Amal (kerja)
Kerja dalam
pengertian luas adalah semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam
hal materi maupun non-materi, intelektual atau fisik maupun hal-hal yang
berkaitan dengan masalah keduniawian atau keakhiratan. Kamus besar bahasa
Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan bahwa kerja adalah perbuatan
melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang dilakukan untuk mencari
nafkah.
KH. Toto
Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi seorang muslim adalah suatu upaya
sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh asset dan zikirnya untuk
mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang
menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang
terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja manusia
memanusiakan dirinya.
Kerja atau amal menurut Islam dapat diartikan dengan makna yang umum dan
makna yang khusus. Amal dengan makna umum ialah melakukan atau meninggalkan apa
saja perbuatan yang diperintahkan atau dilarang oleh agama yang meliputi
perbuatan baik atau buruk. Perbuatan baik dinamakan amal soleh dan
perbuatan jahat dinamakan maksiat.
Adapun kerja atau amal dengan maknanya yang khusus yaitu melakukan
pekerjaan atau usaha yang menjadi salah satu unsur terpenting dan titik tolak
bagi proses kegiatan ekonomi pelakunya.
Islam menempatkan kerja atau amal sebagai kewajiban setiap musllim. Kerja
bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki yang halal guna memenuhi kebutuhan
hidup, tetapi mengandung makna ibadah seorang hamba kepada Allah, menuju sukses
diakhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim mesti menjadikan kerja sebagai
kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan beerupaya maksimal dalam melakukan
pekerjaannya. Ia berusaha menyelesaikan setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi
tanggung jawabnya dan berusaha pula agar setiap hasil kerjanya menghasilkan
kwalitas yang baik dan memuaskan. Dengan kata lain, ia akan menjadi orang yang
terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya.
B. Prinsip etos kerja dalam
Islam
Menurut riwayat Al-Baihaqi dalam ‘Syu’bul Iman’ ada empat prinsip
etos kerja yang diajarkan Rasulullah :
1.
Bekerja
secara halal (thalaba ad-dunya halalan).
Halal
dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal
adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’
dan ‘haram lidzatihi’.
Contohnya: menjadi seorang anggota DPR adalah pekerjaan yang halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.
Contohnya: menjadi seorang anggota DPR adalah pekerjaan yang halal. Tetapi jika jabatan DPR digunakan mengkorupsi uang rakyat, status hukumnya jelas menjadi haram. Jabatan yang semula halal menjadi haram karena ada faktor penyebabnya. Itulah ‘haram lighairihi’. Berbeda dengan preman. Dimodifikasi bagaimanapun ia tetap haram. Keharamannya bukan karena faktor dari luar, melainkan jenis pekerjaan itu memang ‘haram lidzatihi’.
2.
Bekerja
demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan
an al-mas’alah).
Kaum
beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur
seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau
kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian
mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang
mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim).
Dengan
demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam.
Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena
dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan
terhormat di mata Allah daripada meminta-minta.
3.
Bekerja
demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi).
Mencukupi
kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan
menunaikannya termasuk kategori jihad. Hadis Rasulullah yang cukup populer,
“Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya.
Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak,
dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah).
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”.
4.
Bekerja
untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi).
Islam
mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang
kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan
mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan
sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah
sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid:
7).
Lebih
tegas, Allah bahkan menyebut orang yang rajin beribadah tetapi mengabaikan
nasib kaum miskin dan yatim sebagai pendusta-pendusta agama (Qs Al-Ma’un: 1-3).
Itu karena tidak dikenal istilah kepemilikan harta secara mutlak dalam Islam.
Dari setiap harta yang Allah titipkan kepada manusia, selalu menyisakan hak
kaum lemah dan papa.
C. Etos kerja Rasulullah
sebagai Uswah (contoh)
Rasulullah
SAW. Menjadikan kerja sebagai
aktualisasi keimanan dan ketakwwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk
kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhoan Allah SWT.. suatu hari
Rasulullah SAW. Berjumpa dengan sa’ad bin mu’adz Al-anshori. Ketika itu Rasul
melihat tangan sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti
terpanggang matahari.
“Kenapa
tanganmu?,“ tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai Rasulullah,“ jawab Sa’ad,
“tanganku seperti ini karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk
mencari nafkah keluarga yang menjadu tanggunganku“. Seketika itu beliau
mengambil tangan sa’ad dan menciumnya seraya beerkata, “ inilah tangan yang
tidak akan pernah disentuh api neraka”.
Bekerja
adalah manifestasi amal sholeh. Bila kerja itu amal sholeh, maka kerja adalah
ibadah. Dan bila kerja itu ibadah, maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan
dari kerja. Bukankah Allah SWT menciptkan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Rasulullah
SAW. Adalah sosok yang selalu berbuat sbelum beliau memerintahkan para sahabat
untuk melakukannya. Hal ini sesuai dengan tugas beliau sebagai uswatun hasanah;
telada yang baik bagi seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos
kerja islami, maka beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan
berbicara tentang etos kerja Rasulullah SAW. Sama artinya dengan berbicara
bagaimana beliau menjalani peran-peran dalam hidupnya.
Ada lima peran penting yang diemban Rasulullah SAW,
yaitu :
1.
Sebagai Rasul.
Peran
ini beliau jalani selama 23 tahun. Dalam kurun waktu tersebut beliau harus
berdakwa menyebarkan islam; menerima, menghafal, menyampaikan, dan menjelaskan
tak kurang dari 6666 ayat Al-qur’an; menjadi guru (pembimbing) bagi para
sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan berbagai pelik permasalahan umat
dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
2.
Sebagai
kepala Negara dan pemimpin sebuah masyarakat heterogen.
Tatkala
memegang posisi ini Rasulullah SAW. Harus menerima kunjungan diplomatik “
negara-negara sahabat “. Rasulpun harus menata dan menciptakan sistem hukum
yang mampu menyatukan kaum muslimin, nasrani, dan yahudi, mengaatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
3.
Sebagai
panglima perang.
Selama
hidup tak kurang dari 28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy.
Sebagai panglima perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan
kaveleri bersenjata. Harus memikirkan strategi perang, persediaan logistik,
keamanan, transportasi, kesehatan, dan lainnya.
4.
Sebagai
kepala rumah tangga.
Dalam
posisi ini Rasul harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab
lahir batin terhadap para istri beliau, tujuh anak dan beberapa orang cucu.
Beliau dikenal sebagai sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di
tengah kesibukannya Rasul pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri
bajunya.
5.
Sebagai
seorang pebisnis.
Sejak
usia 12 tahun pamannya Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis
ke Syam, negeri yang saat ini meliputi Syiria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia
17 hingga sekitar 20 tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul
karena beliau harus mandiri dan bersaing dengan pemain-pemain senior dalam
perdagangan regional. Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan
entrepreneurship Rasulullah SAW, terbukti dengan “ terpikatnya “ konglomerat
mekkah, Khadijah binti Khuwailid, yang
kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad
sebagai seorang pedagang (2000:5-12), mencatat bahwa Rasulpun sering terlibat
dalam perjalanan bisnis ke berbagai negara
seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan beliau mulai mengurangi kegiatan
bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun. Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW. Mampu
menjalankan kelima perannya tersebut dengan sempurna, bahkan menjadi yang
terbaik. Tak heran bila para ilmuan, baik itu yang muslim maupun nonmuslim,
menempatkan beliau sebagai orang yang paling berpengaruh.
D.
Etika Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda,
“Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang diantara kamu yang melakukan
pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang
ketika akan diserahkan tugas, rasulullah melakukannya dengan selektif.
Diantaranya dilihat dari segi keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya.
Beliau senantiasa mengajak mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal
tulisan ini dikatakan bahwa banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman
yang diikuti oleh amal saleh yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah
perniagaan, pertanian, hutang untuk mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan
bagaimana kerja sebagai amal saleh diangkatkan oleh Islam pada kedudukan
terhormat.
Pandangan Islam tentang
pekerjaan perlu kiranya diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW
yang amat terkenal bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat
pelakunya. Dalam sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah
bersabda bahwa “sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang
diniatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai
kerja itu diperoleh seseorang tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga
merupakan dorongan batin bagi seseorang untuk mengerjakan atau tidak
mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan
tergantung kepada niat pelakunya yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita
tidak membatalkan sedekah (amal kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga
mengakibatkan penerima merasa tersakiti hatinya.
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan
menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang
menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada
Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat
di atas memberikan pengertian bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun
bentuk dan jenis pekerjaan, maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara
taqwa dengan iman berarti mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan
kerja berjalan pada wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam
pembangunan individu, kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat
manusia.
Perlu kiranya
dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai etika yang harus selalu diikut sertakan
didalamnya, oleh karenanya kerja merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi
pahala dan siksa. Hendaknya setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir
berupa upah atau imbalan, namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh
keridhaan Allah SWT. Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam
sehingga hasil pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut
adanya sikap baik budi, jujur dan amanah, kesesuaian upah serta tidak
diperbolehkan menipu, merampas, mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan
harus mempunyai komitmen terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan
seperti bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya.
Disamping itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah
kerja menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang
penting tentang etika kerja yang harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
1. Adanya keterkaitan
individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam
kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat.
Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan
bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan
mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah
bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang
dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali).
2. Berusaha dengan cara
yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang
kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar
kepada-Nya kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172)
3. Dilarang memaksakan
seseorang, alat-alat produksi atau binatang dalam bekerja, semua harus
dipekerjakan secara professional dan wajar.
4. Islam tidak membolehkan
pekerjaan yang mendurhakai Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba
dan hal-hal lain yang diharamkan Allah.
5. Profesionalisme yaitu
kemampuan untuk memahami dan melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip
keahlian. Pekerja tidak cukup hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan
kreatif serta bertaqwa tetapi dia juga mengerti dan benar-benar menguasai
pekerjaannya. Tanpa professionalisme suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan
dan kebangkrutan juga menyebabkan menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada
kesemrautan manajemen serta kerusakan alat-alat produksi.
E.
Ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan kerja (Amal)
al-Qur’an banyak
membicarakan tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang
kerja, pada bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah
kemaslahatan, terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan
di akhirat. Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja
positif dan negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja
seluruhnya berjumlah 602 kata, bentuknya:
1.
Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di antaranya di dalam surat
al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2.
Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak 17 kali, di antaranya
surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3.
Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan) kita temui sebanyak 73
kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4.
Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti dalam surat al-Ahqaf: 90,
Hud: 92.
5.
Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum, a’maalun, a’maluka,
‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah. Diantaranya
dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8, dan at-Tur:
21.
6.
Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu, ta’mal, a’malu seperti
dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab: 31.
7.
Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang mengandung anjuran dengan
istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi ibtaghu fadhillah,
istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah berulang-ulang dan
sebagainya.
Di samping itu,
al-Qur’an juga menyebutkan bahwa pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti
bahwa adanya iman seseorang serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT
berfirman:
“…barangsiapa mengharap
perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…”
(Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an
yang menunjukkan pengertian kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT
kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami
ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk kamu, guna memelihara kamu dalam
peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah
ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah: 10)
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag
RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam,
Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat,
Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja,
Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an,
Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah,
Jakarta : Mizan
Asyraf Abd Rahman. 2008. Konsep Kerja dalam Islam. Cetakan V
Sais Ramadhan Al-Buthy. 1989. Sirroh Nabawiyah. Cetakan I
Kumpulan Hadits Shoheh. 1999. Cetakan VI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar