A.
Pengertian Asas
Perkataan asas berasal dari bahasa Arab,
asasun. Artinya dasar, basis, pondasi. Kalau dihubungkan dengan system berpikir,
yang dimaksud dengan asas adalah landasan bepikir yang sangat mendasar. Oleh
karna itu, di dalam bahasa Indonesia, asas mempunyai arti (1) dasar, alas,
pondamen ( Poerwadarminta, 1976:60 ). Asas dalam pengertian ini dapat dilihat
misalnya, dalam urutan yang disesuaikan pada kata-kata : …” batu ini baik benar
untuk pondamen atau pondasi rumah”, (2) kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir
atau pendapat. Makna ini terdapat misalnya dalam ungkapan” parnyataan ini
bertentangan dengan asas-asas hokum pidana”; (3) cita-cita yang menjadi dasar
organisasi atau Negara. Hal ini jelas dalam kalimat: “ Dasar Negara Republik
Indonesia adalah Pancasila.”
Jika kata asas dikaitkan dengan hokum, yang
dimaksud dengan asas adalah kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan
berpikir dan alasan pendapat, terutama, dalam penegakan dan pelaksanaan hukum
pidana, misalnya, seperti disinggung diatas adalah tolak ukur dalam pelaksanaan
hukum pidana. Asas hukum, pada umumnya berfungsi sebagai rujukan untuk
mengembalikan segala masalah berkenaan dengan hukum.
Asas hukum islam berasal dari hukum islam
terutama Al-Qur’an dan Al- Hadist yang dikembangkan oleh akal pikiran orang
yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Asas-asas hukum islam banyak, disamping
asas-asas yang berlaku umum, masing-masing bidang dan lapangan mempunyai
asasnya sendiri-sendiri.
B.
Beberapa Asas Hukum Islam
1. Asas – Asas
Umum Hukum Islam
a.
Asas keadilan
Dalam Al-Qur’an, kata ini disebut 1000 kali. Keadilan pada umumnya
berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijakan pemerintah. Konsep keadilan
meliputi berbagai hubungan, misalanya : hubungan individu dengan dirinya
sendiri, hubungan antara individu dan yang berpekara serta hubungan-hubungan
dengan berbagai pihak yang terkait. Keadilan dalam Hukum Islam berarti keseimbangan
antara kewajiban dan harus dipenuhi oleh manusia dengan kemammpuan manusia
untuk menuanaikan kewajiban itu.
Etika keadilan : berlaku adil dalam menjatuhi hukuman, menjauhi
suap dan hadiah, keburukan tyergesa-gesa dalam menjatuhi hukuman, keputusan
hukum bersandar pada apa yang nampak, kewajiban menggunakan hukum agama.
b.
Asas Kepastian Hukum
Dalam syariat Islam pada dasarnya semua perbuatan dan perkara
diperbolehkan. Jadi selama belum ada nas yang melarang, maka tidak ada tuntutan
ataupun hukuman atas pelakunya. Dasar hukumnya asas ini ialah QS Al Isro’ 15, yang artinya:
“…. Dan kami tidak akan menyiksa
sebelum kami mengutus seorang rasul.”
c.
Asas Kemanfatan
Asas kemanfaatan adalah asas yang mengiringi keadilan dan kepastian
hukum tersebut diatas. Dalam melaksanakan asas keadilan dan kepastiann hukum
hendaknya memperhatikan manfaat bagi terpidana atau masyarakat umum. Contoh
hukuman mati, ketika dalam pertimbangan hukuman mati lebih bermanfaat bagi
masyarakat, misal efek jera, maka hukuman itu dijatuhkan. Jika hukuman itu
bermanfaat bagi terpidana, maka hukuman mati itu dapat diganti dgengan denda.
2. Asas – Asas
Hukum Pidana Islam
a.
Asas Legalitas
Asas legalitas maksudnya tidak ada hukum bagi tindakan manusia
sebelum ada aturan. Asas legalitas ini mengenal ini juga asas teritorial dan
non teritorial. Asas teritorial menyatakan bahwa hukum pidana Islam hanya
berlaku di wilayah di mana hukum Islam diberlakukan.
b.
Tidak Berlaku Surut
Hukum Pidana Islam tidak menganut sistem berlaku surut sebelum
adanya nas yang melarang perbuatan maka tindakan seorang tidak bisa dianggap
suatu jarimah, sehingga ia tidak dapat dijatuhi hukuman. Dasar hukum dari asas
ini ialah bahwasannya Allah SWT mengampuni perbuatan yang telah lalu, seperti dalam firman-Nya:
“ Katakanlah kepada orang-orang yang
kafir itu, Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan
mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka
kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah teradap)
orang-orang dahulu.” (QS. Al Anfal: 38)
Tetapi ada
pengecualian tidak berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan
sangat berbahaya apabila tidak diterapkan berlaku surut. seperti halnya;
jarimah qozf, jarimah hirabah (perampokan, terorisme). Jika kedua jarimah
berlaku hukum tidak berlaku surut, maka banyak kekacauan dan fitnah pada
masyarakat.
c.
Bersifat Pribadi
Dalam syariah Islam hukuman dapat dijatuhkan hanya kepada orang yang
melakukan perbuatan jinayah dan orang lain ataupun kerabatnya tidak dapat
menggantikan hukuman pelaku jinayah. Al quran telah menjelaskan dalam QS Al
An’am 164 :
“ Katakanlah, apakah Aku akan
mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya
sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian
kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu
perselisihkan.”
d.
Hukum Bersifat Umum
Hukuman harus berlaku umum maksudnya setiap orang itu sama
dihadapan hukum (equal before the law) walaupun budak, tuan, kaya, miskin,
pria, wanita, tua, muda, suku berbeda. Contoh ketika masa Rasulullah ada
seorang wanita yang didakwa mencuri, kemudian keluarganya meminta Rasulullah
membebaskan dari hukuman. Rasulullah dengan tegas menolak perantaraan itu
dengan menyatakan “Seandainya Fatimah Binti Muhammad mencuri, ikatan
keluarganya tidak dapat menyelamatkannya dari hukuman hadd”.
e.
Hukuman Tidak Sah Karena
Keraguan
Keraguan di sini berarti segala yang kelihatan seperti sesuatu yang
terbukti, padahal dalam kenyataannya tidak terbukti. Atau segala hal yang
menurut hukum yang mungkin secara konkrit muncul, padahal tidak ada ketentuan
untuk itu dan tidak ada dalam kenyataan itu sendiri. Putusan untuk menjatuhkan
hukuman harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan. Sebuah hadis
menerangkan “hindarkan hudud dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam
membebaskan daripada salah dalam menghukum”.
Seperti halnya kasus yang dicontohkan Abdul Qodir Audah dalam kasus
pencurian, misalnya kecurigaan mengenai kepemilikan dalam pencurian harta
bersama. Jika seorang mencuri sesuatu yang dia miliki bersama orang lain,
hukuman hadd bagi pencuri menjadi tidak valid, karena dalam kasus harta itu
tidak secara khusus dimiliki orang, tetapi melibatkan persangkaan adanya
kepemilikan juga dari pelaku perbuatan itu.
3. Asas – Asas
Muamalat Islam
a.
Asas Taba, Dulul Mana’fi’
Asas taba, dulul mana’fi’ berarti bahwa segala bentuk kegitan
muamalat harus memberikan keuntungan dan manfaat bersama bagi pihak-pihak yang
terlibat. Asas ini merupakan kelanjutan dari prinsip atta’awun sehingga asas
ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak-pihak dalam
masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluanya masing-masing dalam rangka
kesejahteraaan bersama.
b.
Asas Pemerataan
Asas pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan dalam bidang
muamalat yang menjhendaki agar harta tidak diuasai oleh segelintir orang
sehingga harta itu harus terdistribusikan secara merata di antara masyarakat,
baik kaya maupun miskin. Oleh karena itu dibuat hukum zakat, shodaqoh, infaq,
dsb. Selain itu Islam juga menghalalkan bentuk-bentuk pemindahan pemilikan
harta dengan cara yang sah seperti jual beli, sewa menyewa dsb.
c.
Asas Suka Sama Suka
Asas ini menyatakan bahwa segala jenis bentuk muamalat antar
individu atau antar pihak harus berdasarkan kerelaan masing-masing. Kerelaan
disiini dapat berarti kerelaan melakukan suatu bentuk muamalat, maupun kerelaan
dalam menerima atau menyerahkan harta yang dijadikan obyek perikatan dan bentuk
muamalat lainya.
d.
Asas Adamul Gurur
Asas adamul gurur
berarti bahwa setiap bentuk muamalat tidak boleh ada gurur, yaitu tipu daya
atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan oleh pihak
lainya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu pihak dalam
melakukan suatu transaksi atau perikatan.
e.
Asas Al-Birri Wa Al-Taqwa
Asas ini menekankan bentuk muamalat yang termasuk dalam kategori
suka sama suka ialah sepanjang bentuk muamlat dan pertukaran manfaat itu dalam
rangka pelaksanaan saling menolong antar sesama manusia untuk al-birr wa taqwa,
yakin kebajikan dan ketqwaan dalam berbagai bentuknya.
f.
Asas Musyarokah
Asas musyarakah, yakni kerjasama antar pihak yang saling
menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan juga bagi
keseluruhan masyarakat manusia.
4. Asas – Asas
Kewarisan Islam
a.
Asas Ijbari
Asas ijbari secara harfiah berarti memaksa. Unsur memaksa dalam
hukum waris ini karena kaum muslimin terikat untuk taat kepada hukum allah
sebagai konsekwensi logis dari pengakuannya kepada ke-Esaan Allah SWT dan
Kerasulan Muhammad.
b.
Asas Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada
masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya
seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagikan
kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.
c.
Asas Bilateral
Seseorang menerima hak kewarisan kedua belah pihak yaitu pihak
kerabat keturunan laki-laki dan dari pihak perempuan.
d.
Asas Keadilan Yang Berimbang
Asas keadilan atau keseimbangan disni mengandung arti bahwa harus
senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban; antara hak yang
diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikanya. Dalam hukum
kewarisan Islam, harta peninggalan yang diterima ahli waris dari pewaris merupakan
kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya.
e.
Asas Akibat Kematian
Kewarisan terjadi jikalau ada pihak yang meninggal dunia. Jika
peralihan harta sebelum kematian, berarti bukan kewarisan.
5. Asas – Asas
Hukum Perkawinan Islam
a.
Asas Kesukarelaan
Kesukarelaan berarti saling menerima baik kekurangan maupun
kelebihan antara kedua calon. Kesukarelaan itu tidak harus terdpat diantara
kedua calon suami isteri, tetapi juga diantara kedua orang tua kedua belah
pihak. Kesukarelaan orang tua yang menjadi wali seorang wanita, merupakan sendi
asasi perkawinan Islam.
b.
Asas Persetujuan Kedua Belah
Pihak
Tidak boleh ada permaksaan dalam melangsungkan sebuah pernikahan.
Persetujuan seorang gadis untuk dinikahkan dengan seorang pemuda, misalnya
harus diminta dulu oleh wali atau orang tuanya.
c.
Asas Kebebasan Memilih
Pasangan
Seorang laki-laki dan perwmpuan berhak untuk memilih calon
pasangannya. Ketika terjadi suatu pemaksaan dalam sebuah pernikahan, ada
pilihan untuk meneruskan pernikahan itu atau tidak.
d.
Asas Kemitraan Suami Isteri
Kedudukan seorang suami dan isteri dalam beberapa hal sama dan
dalam hal lain berbeda; suami menjadi kepala keluarga, istri penanggung jawab
masalah rumah tangga.
e.
Untuk Selama-lamanya.
Perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina
cinta serta kasih sayang serlamanya. Oleh karena itu perkawinan mut’ah
dilarang, karena tidam sesuai dengan tujuan pernikahan.
f.
Monogami Terbuka
Perkawinan di dalam Islam bersifat monogami. Karena beberapa hal
seorang suami dapat menikah lagi, atas persetuuan isterinya.
C.
Ciri-ciri Hukum Islam
1. Merupakan
bagian dan bersumber dari Agama Islam.
2. Mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan dari iman atau
akidah dan kesusilaan atau akhlak Islam.
3. Mempunyai dua
istilah kunci, yakni :
a. Syari’at
Syari’at terdiri dari wahyu allah dan sunnah Nabi Muhammad
SAW
b. Fikih
Fikih adalah pemahaman dan hasil pemahaman manusia tentang
syari’at.
4. Terdiri dari
dua bidang utama, yaitu :
a. Ibadah
Ibadah bersifat karena telah sempurna.
b. Muamalah dalam
arti luas
Mauamalah dalam arti khusus dan luas brsifat terbuka untuk
di kembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa kemasa.
di kembangkan oleh manusia yang memenuhi syarat dari masa kemasa.
5. Strukturnya
berlapis, terdiri dari :
a. Nas atau teks
Al-Qur’an.
b. Sunnah Nabi
Muhamad SAW (untuk syari’at).
c. Hasil ijtihad manusia
yang memenuhi syarat tentang wahyu dan sunnah.
d. Pelaksanaanya
dalam praktik baik yaitu
·
Berupa keputusan hakim maupun.
·
Berupa amalan-amalan ummat
Islam dalam masyrakat (untuk fikih).
6. Mendahulukan
kewajiban dari hak, amal dari pahala.
7. Dapat dibagi menjadi
:
a. Hukum taklifih
atau hukum taklif yakni al-ahkam al-khamsayaitu lima kaidah, lima jenis
hukum, lima
penggolongan hokum yakni ja’iz, sunnat, makruh, wajib dan haram
b. Hukum
wadh’i yang mengandung sebab, syarat, halangan terjadi atau terwujudnya hubungan
hukum.
Ciri-ciri khas hukum Islam. Yang relevan untuk dicatat disini
adalah Hukum Islam berwatak universal berlaku abadi untuk ummat Islam
dimanapun mereka berada tidak terbatas pada ummat Islam di suatu tempat atau
Negara pada suatu masa saja. Menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa
dan raga, rohani dan jasmani serta memelihara kemuliaan manusia dan
kemanusiaan secara keseluruhan. Pelaksana annya dalam praktik digerakkan oleh
iman (akidah) dan akhlak ummat manusia.
D.
Penerapan Hukum Islam pada masa Rasulullah SAW – Sekarang
Rasulullah SAW memberikan contoh dalam penerapan hukum. Jika kita
mengacu pada penerapan hukum di masa Rasulullah Saw, maka terdapat lima prinsip
yang melandasinya, yaitu kebebasan, musyawarah, persamaan, keadilan dan kontrol.
Kebebasan
Di antara landasan hukum yang dicontohkan Rasulullah Saw adalah
kebebasan bagi individu maupun kolektif, dalam keagamaan maupun sosial politik.
Al-Qur`an memberikan kebebasan di bidang agama.
La ikraha fiddin …
“Tidak ada paksaan dalam memeluk
agama.”
“Apakah kamu memaksa manusia
sehingga mereka beriman”.
Prinsip ini diterapkan oleh Rasulullah Saw ketika menyambut
kedatangan rombongan Kristen Najran di Madinah Munawarah. Pada saat bersamaan
tibalah waktu shalat Ashar lalu mereka shalat, maka Rasul Saw bersabda: “Biarkan
mereka sholat.” Mereka shalat menghadap ke Timur. Perdamaian
Hudaibiyah contoh jelas kebebasan di bidang politik.
Musyawarah
Musyawarah merupakan prinsip dan sistem Islam yang sangat
ditekankan dalam Islam dan dipraktikkan oleh Rasul Saw
Allah berfirman:
… wa sya wirhum fil amri … (Ali Imran: 159)
… wa amruhum syuraa bainahum … (asy-Syuraa: 38)
Ketika Rasulullah
Saw mendengar bahwa pasukan Quraisy sampai di Uhud, beliau bermusyawarah dengan
sahabat, apakah bertahan di dalam kota untuk bertahan atau harus menghadapinya
di luar kota. Demikian, Rasul Saw bermusyawarah sebagai pelajaran bagi umat.
Padahal tanpa musyawarah pun Rasul Saw telah dibimbing langsung oleh Allah.
Persamaan
Islam datang dalam kondisi manusia berkasta-kasta, berbeda suku dan
status sosial. Kaum wanita tidak memiliki derajat dalam pandangan masyarakat
saat itu. Islam datang menghapus kebanggaan keturunan dan kepangkatan. Islam
menempatkan posisi yang mulia bagi kaum wanita. Dan semua manusia disisi Allah
SWT memiliki kedudukan yang sama, yang membedakannya hanyalah amal saleh dan
ketakwaannya.
Allah berfirman yang artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang
yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahu lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al Hujuraat : 13)
Rasulullah SAW menegaskan prinsip kesamaan ini dengan sabda beliau:
“Kamu semua anak cucu Adam dan Adam
diciptakan dari tanah.”
“Manusia sama rata bagaikan gigi sisir.Tiada keutamaan bagi orang Arab melebihi
non Arab kecuali dengan taqwa”.
Keadilan
Tugas yang diemban Rasul SAW antara lain berbuat adil kepada
seluruh lapisan manusia.
“Dan katakanlah; aku beriman
terhadap apa yang Allah turunkan dari kitab dan aku diperintahkan untuk berbuat
adil diantara kalian”
Contoh kongkret yang dilakukan Rasul Saw ketika Nu’man bin Basyir
mengadu padanya: “Bapakku memberiku hadiah, ibu tidak rela hingga disaksikan
Rasul Saw Datanglah kepada Rasul Saw agar disaksikannya Rasul Saw bersabda: “Apakah
semua anakmu kamu beri yang sama.” Ia menjawab, “Tidak.” Rasul Saw
bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan bersikap adillah di antara anakmu,
saya tidak mau menjadi saksi atas kezaliman, maka ayah mengambil lagi pemberian
tersebut.”
Kontrol
Islam sangat menghargai kebebasan individu, kolektif, politik
sosial, ekonomi dan keagamaan. Namun demikian kebebasan yang diberikan Islam
bukanlah kebebasan yang tanpa batas melainkan kebebasan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran. Sehingga dalam mengekspresikan
kebebasan diperlukan kontrol. Dalam sistem Islam bentuk kontrol tersebut adalah
amar ma’ruf dan nahi munkar. Hal itu merupakan puncak agama, serta merupakan
tugas yang diemban oleh para Nabi dan Rasul as.
Dalam hadits Riwayat Muslim dikatakan bahwa Umar ra berkata: “Rasulullah
Saw membagi barang. Aku berkata:’Ya Rasulullah Saw selain orang-orang itu ada
yang lebih berhak.’ Rasul Saw menjawab: ‘Mereka memberikan pilihan kepadaku,
antara meminta kepadaku dengan kasar atau mengatakan aku orang bakhil, padahal
aku tidak bakhil.’”
E.
Tujuan Hukum Islam (Maqashid Asy-Syariah)
Syariat Islam adalah peraturan hidup yang
datang dari Allah ta’ala, ia adalah pedoman hidup bagi seluruh umat manusia.
Sebagai pedoman hidup ia memiliki tujuan utama yang dapat diterima oleh seluruh
umat manusia. Tujuan diturunkannya syariat Islam adalah untuk kebaikan seluruh
umat manusia. Dalam ruang lingkup ushul fiqh tujuan ini disebut dengan maqashid
as-syari’ah yaitu maksud dan tujuan diturunkannya syariat Islam.
Secara bahasa maqashid syari’ah terdiri
dari dua kata yaitu maqashid dan syari’ah. Maqashid
berarti kesengajaan atau tujuan, maqashid merupakan bentuk jama’
dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti
menghendaki atau memaksudkan. Maqashid berarti hal-hal yang dikehendaki
dan dimaksudkan. Sedangkan Syari’ah secara bahasa berartiالمواضع تحدر
الي الماء artinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju
sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.
Di
dalam Alqur’an Allah ta’ala menyebutkan beberapa kata “syari’ah”
diantaranya adalah:
ثُمَّ جَعَلْنَٰكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍۢ مِّنَ
ٱلْأَمْرِ فَٱتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَآءَ ٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami
jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu),
Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang
tidak mengetahui.” QS.
Al-Jatsiyah: 18.
شَرَعَ لَكُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ
نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ
وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ
“Dia telah
mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya.” QS.
Asy-Syuura: 13.
Dari dua ayat di atas bisa disimpulkan bahwa
“syariat” sama dengan “agama”, namun dalam perkembangan sekarang terjadi
reduksi muatan arti Syari’at. Aqidah misalnya, tidak masuk dalam pengertian
Syariat, Syeh Muhammad Syaltout misalnya sebagaimana yang dikutip oleh Asafri
Jaya Bakri dalam bukunya Konsep Maqashid Syari’ah menurut al-Syatibi mengatakan
bahwa Syari’at adalah: Aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah SWT untuk dipedomani
oleh manusia dalam mengatur hubungan dengan tuhan, dengan manusia baik sesama
Muslim maupun non Muslim, alam dan seluruh kehidupan.
Maqashid Syariah secara istilah
adalah tujuan-tujuan syariat Islam yang terkandung dalam setiap aturannya. Imam
Asy-Syathibi mengungkapkan tentang syari’ah dan fungsinya bagi manusia seperti
ungkapannya dalam kitab al-Muwwafaqat:
هذه الشريعة .... وضعت لتحقيق مقاصد الشارع في
قيام مصالحهم في الدين والدنيا معا
“Sesungguhnya
syariat itu ditetapkan bertujuan untuk tegaknya (mewujudkan) kemashlahatan
manusia di dunia dan Akhirat.”
Pada bagian lainnya beliau menyebutkan:
الاحكام مشروعة لمصالح العباد
“Hukum-hukum
diundangkan untuk kemashlahatan hamba.”
Al- Syatibi tidak mendefinisikan Maqashid
Syariah yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di
dunia maupun diakhirat. Oleh karena itu Asy-Syatibi meletakkan posisi maslahat
sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam, berbeda
dengan ahli ushul fiqih lainnya An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati
menekankan berulang-ulang, bahwa maslahat itu bukanlah ‘illat atau motif
(al-ba‘its) penetapan syariat, melainkan hikmah, hasil (natijah),
tujuan (ghayah), atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariat.
Mengapa
An-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan ‘illat? Karena menurut ia nash
ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shighat) tidaklah
menunjukkan adanya ‘illat (al-‘illiyah), namun hanya menunjukkan
adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat. Misalnya
firman Allah ta’ala:
وَنُنَزِّلُ مِنَ ٱلْقُرْءَانِ مَا هُوَ شِفَآءٌۭ
وَرَحْمَةٌۭ لِّلْمُؤْمِنِينَ ۙ وَلَا يَزِيدُ ٱلظَّٰلِمِينَ إِلَّا خَسَارًۭا
“Dan Kami
turunkan dari Al Qur'an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang
yang beriman dan Al Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang lalim
selain kerugian.” QS. Al-Isra:
82.
وَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ إِلَّا رَحْمَةًۭ
لِّلْعَٰلَمِينَ
“Dan Tiadalah
Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” QS. Al-Anbiyaa: 107.
Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung
shighat ta‘lil (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya
dengan adanya lam ta’lil. Jadi maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah)
diutusnya Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam adalah akan menjadi rahmat
bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil
pelaksanaan syariat, bukan ‘illat dari penetapan syariat.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka Maqashid
Syari’ah adalah maksud dan tujuan disyariatkannya hukum Islam. Beberapa
Ulama mendefinisikan Maqashid Syariah sebagai berikut:
المقاصد العام للشارع في تشريعة الاحكام هو مصالح
الناس بكفلة ضرورياتهم وتوقير حاجياتهم وتحسناتهم
“Maqashid
Syari’ah secara Umum adalah: kemaslahatan bagi Manusia
dengan memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan Hajiyat
dan Tahsiniat mereka.”
Abu Ishaq al-Shatibi merumuskan lima tujuan
hukum Islam, yakni:
1. Hifdz Ad-Din (Memelihara
Agama)
2. Hifdz An-Nafs (Memelihara
Jiwa)
3. Hifdz Al’Aql (Memelihara
Akal)
4. Hifdz An-Nasb (Memelihara
Keturunan)
5. Hifdz Al-Maal (Memelihara
Harta)
Kelima tujuan
hukum Islam tersebut di dalam kepustakaan disebut al-maqasid al khamsah atau
al-maqasid al- shari’ah.
Tujuan hukum
Islam tersebut dapat dilihat dari dua segi yakni (1) segi Pembuat Hukum Islam
yaitu Allah dan Rasul-Nya. Dan (2) segi manusia yang menjadi pelaku dan
pelaksana hukum Islam itu. Jika dilihat dari pembuat hukum Islam tujuan hukum
Islam itu adalah: Untuk memelihara keperluan hidup manusia yang bersifat
primer, sekunder, dan tersier, yang dalam kepustakaan hukum Islam masing-masing
disebut dengan istilah daruriyyat, hajjiyat dan tahsniyyat. Kebutuhan
primer adalah kebutuhan utama yang harus dilindungi dan dipelihara
sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan hidup manusia bener-benar
terwujud. Kebutuahan sekunder adalah kebutuhan yang diperluakn untuk mencapai
kehidupan primer, seperti kemerdekaan, persamaan, dan sebagaianya, yang
bersifat menunjang eksistensi kebutuahan primer. Kebutuahn tersier adalah
kebutuhan hidup manusia selain yang bersifat primer dan sekunder itu yang perlu
diadakan dan dipelihara untuk kebaikan hidup manusia dalam masyarakat, misalnya
sandang, pangan, perumahan dan lain-lain.
Tujuan hukum
Islam adalah untuk ditaati dan dilaksanakan oleh manusia dalam kehidupannya
sehari-hari. Agar dapat ditaati dan dilaksanakan dengan baik dan benar, manusia
wajib meningkatkan kemampuannya untuk memahami hukum Islam dengan mempelajari
Ushul Fiqh yakni dasar pembentukan dan pemahaman hukum Islam sebagai
metodologinya.
Di samping itu dari segi pelaku hukum
Islam yakni manusia sendiri, tujuan hukum Islam adalah untuk mencapai kehidupan
yang bahagia dan sejahtera. Caranya adalah, dengan mengambil yang bermanfaat,
mencegah atau menolak yang mudarat bagi kehidupan. Dengan kata lain tujuan
hakiki hukum Isalm, jika dirumuskan secara umum, adalah tercapainya keridaan
Allah dalam kehidupan manusia di bumi ini dan di akhirat kelak.
1.
Memelihara Agama
Pemeliharan
agama merupakan tujuan pertama hukum Islam. Sebabnya adalah karena agama
merupakan pedoman hidup manusia, dan didalam Agama Islam selain
komponen-komponen akidah yang merupakan sikap hidup seorang muslim, terdapat
juga syariat yang merupakan sikap hidup seorang muslim baik dalam berrhubungan
dengan Tuhannya maupun dalam berhubungan dengan manusia lain dan benda dalam
masyarakat. Karena itulah maka hukum Islam wajib melindungi agama yang dianut
oleh seseorang dan menjamin kemerdekaan setiap orang untuk beribadah menurut
keyakinannya.
Beragama merupakan kekhususan bagi
manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agamalah yang
dapat menyentuh nurani manusia. Allah memerintahkan kita untuk tetap berusaha
menegakkan agama, firmannya dalam surat Asy-Syura’: 13:
شَرَعَ لَكُم
مِّنَ ٱلدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِۦ نُوحًۭا وَٱلَّذِىٓ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ وَمَا
وَصَّيْنَا بِهِۦٓ إِبْرَٰهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰٓ ۖ أَنْ أَقِيمُوا۟ ٱلدِّينَ
وَلَا تَتَفَرَّقُوا۟ فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى ٱلْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ
إِلَيْهِ ۚ ٱللَّهُ يَجْتَبِىٓ إِلَيْهِ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِىٓ إِلَيْهِ مَن
يُنِيبُ
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang
agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami
wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan
Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat
berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah
menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).”
2.
Memelihara jiwa
Untuk tujuan ini, Islam melarang
pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman Qishas (pembalasan yang
seimbang), sehingga dengan demikian diharapkan agar orang sebelum melakukan
pembunuhan, berpikir panjang karena apabila orang yang dibunuh itu mati, maka
si pembunuh juga akan mati atau jika orang yang dibunuh itu tidak mati tetap
hanya cedera, maka si pelakunya juga akan cedera.
Mengenai hal ini dapat kita jumpai
dalam firman Allah Swt dalam QS Al-Baqarah ayat 178-179 yang berbunyi :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ
عَلَيْكُمُ ٱلْقِصَاصُ فِى ٱلْقَتْلَى ۖ ٱلْحُرُّ بِٱلْحُرِّ وَٱلْعَبْدُ
بِٱلْعَبْدِ وَٱلْأُنثَىٰ بِٱلْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِىَ لَهُۥ مِنْ أَخِيهِ شَىْءٌۭ
فَٱتِّبَاعٌۢ بِٱلْمَعْرُوفِ وَأَدَآءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَٰنٍۢ ۗ ذَٰلِكَ
تَخْفِيفٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌۭ ۗ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُۥ عَذَابٌ
أَلِيمٌۭ ( 178) وَلَكُمْ فِى
ٱلْقِصَاصِ حَيَوٰةٌۭ يَٰٓأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ( 179)
“Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang
baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan)
hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”
3.
Memelihara akal
Manusia adalah
makhluk Allah ta’ala, ada dua hal yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
Pertama, Allah S ta’ala telah menjadikan manusia dalam bentuk yang paling baik,
dibandingkan dengan bentuk makhluk-makhluk lain dari berbagai makhluk lain. Hal
ini telah dijelaskan oleh Allah ta’ala sendiri dalam Al-Quran At-Tiin Ayat 4
berbunyi :
لَقَدْ
خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍۢ
"Sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya."
Akan tetapi bentuk yang indah itu tidak
ada gunanya, kalau tidak ada hal yang kedua, yaitu akal. Oleh karena itu Allah
ta’ala melanjutkan Firman-Nya dalam surat At-Tiin ayat 5 dan 6 yang berbunyi :
ثُمَّ رَدَدْنَٰهُ أَسْفَلَ سَٰفِلِينَ (5) إِلَّا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ
مَمْنُونٍۢ (6)
“Kemudian kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), Kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang tiada
putus-putusnya.”
Jadi, akal paling penting dalam
pandangan Islam. Oleh karena itu Allah ta’ala selalu memuji orang yang berakal.
Hal ini dapat dilihat pada firman Allah ta’ala dalam Q.S. Al-Baqarah ayat
164 yang berbunyi :
إِنَّ فِى
خَلْقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ وَٱلْفُلْكِ
ٱلَّتِى تَجْرِى فِى ٱلْبَحْرِ بِمَا يَنفَعُ ٱلنَّاسَ وَمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ مِنَ
ٱلسَّمَآءِ مِن مَّآءٍۢ فَأَحْيَا بِهِ ٱلْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيهَا
مِن كُلِّ دَآبَّةٍۢ وَتَصْرِيفِ ٱلرِّيَٰحِ وَٱلسَّحَابِ ٱلْمُسَخَّرِ بَيْنَ
ٱلسَّمَآءِ وَٱلْأَرْضِ لَءَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera
yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah
mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan
pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh
(terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.”
4.
Memelihara Keturunan
Perlindungan Islam terhadap keturunan
adalah dengan mensyariatkannya pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan
siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu
dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi, sehingga perkawinan itu
dianggap sah dan pencampuran antara dua manusia yang belainan jenis itu tidak
dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Malahan tidak melarang itu
saja, tetapi juga melarang hal-hal yang dapat membawa kepada zina.
Sebagaimana
firman Allah ta’ala dalam Q.S An-Nisa: 3-4 :
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا۟ فِى ٱلْيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُوا۟ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ
ٱلنِّسَآءِ مَثْنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا۟
فَوَٰحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰٓ أَلَّا
تَعُولُوا۟.
“Dan jika kamu
takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim
(bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
وَءَاتُوا۟
ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحْلَةًۭ ۚ فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَىْءٍۢ مِّنْهُ نَفْسًۭا
فَكُلُوهُ هَنِيٓـًۭٔا مَّرِيٓـًۭٔا
“Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
5.
Memilihara Harta Benda dan
Kehormatan
Islam meyakini
bahwa semua harta di dunia ini adalah milik Allah ta’ala, manusia hanya berhak
untuk memanfaatkannya saja. Meskipun demikian Islam juga mengakui hak pribadi
seseorang. Oleh karena manusia itu manusia snagt tamak kepada harta benda,
sehingga mau mengusahakannya dengan jalan apapun, maka Islam mengatur supaya
jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk ini Islam mensyariatkan
peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa-menyewa, gadai
menggadai, dan sebagainya, serta melarang penipuan, riba dan mewajibkan kepada
orang yang merusak barang orang lain untuk membayarnya, harta yang dirusak oleh
anak-anak yang di bawah tanggungannya, bahkan yang dirusak oleh binatang
peliharaannya sekalipun.
Perlindungan Islam terhadap harta
benda seseorang tercermin dalam firmanNya dalam Q.S. An-Nisa:
29-32:
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ
إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟
أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًۭا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
وَمَن يَفْعَلْ
ذَٰلِكَ عُدْوَٰنًۭا وَظُلْمًۭا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًۭا ۚ وَكَانَ ذَٰلِكَ
عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرًا
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, Maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
إِن
تَجْتَنِبُوا۟ كَبَآئِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّـَٔاتِكُمْ
وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًۭا كَرِيمًۭا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara
dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus
kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat
yang mulia (surga).”
وَلَا
تَتَمَنَّوْا۟ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ ۚ
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا ٱكْتَسَبُوا۟ ۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٌۭ مِّمَّا
ٱكْتَسَبْنَ ۚ وَسْـَٔلُوا۟ ٱللَّهَ مِن فَضْلِهِۦٓ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ
شَىْءٍ عَلِيمًۭا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang
dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang
lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala sesuatu.”
F.
Keterkaitan Hukum Islam dan Ilmu Lainnya
Pertama, Teori hukum
modern memiliki karakter tersendiri. Sifat dari hukum modern adalah fleksibel
dan mampu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Karena tidak
mengenal sakralitas apapun, hukum modern bisa dibuat dan dirubah sesuai dengan
keperluan. Hal ini lah yang sering menjadi tuduhan kaum ”fanatik islam” bahwa
hukum modern (”hukum buatan manusia” dalam terminologi mereka, sebagai lawan
dari hukum buatan Allah yang mereka anggap lebih unggul) selalu berubah sesuai
dengan kehendak nafsu manusia.
Akan
tetapi, meski hukum positif mengalami banyak perubahan, perubahan tersebut tidak
bisa dibuat seenak perutnya. Pembuatan atau perubahan Undang-undang selalu
harus melibatkan partisipasi warga masyarakat melalui para wakilnya di
parlemen. Proses inilah yang kemudian akan melahirkan check and balance, yang
akan menjadi penilai apakah undang-undang tersebut sesuai dengan maslahat
rakyat banyak atau tidak. Oleh karena itu, pembuatan atau perubahan suatu
undang-undang sering berjalan a lot dan kadang menimbulkan banyak kekisruhan.
Namun dibalik itu semua, akan timbul kepuasan, karena undang-undang yang lahir
merupakan hasil konsesus. Bila tidak ada kepuasan dikemudian hari, kita bisa
mengajukan untuk diadakannya suatu judicial review atau uji materi. Hal itu
semua bisa dilakukan tanpa harus merasa khawatir kita telah melanggar batas-batas
ketentuan tuhan. Karena sekali lagi hukum positif atau hukum modern tidak
memiliki keskaralan apapun.
Karakter lain yang membedakan hukum modern
dengan hukum agama adalah, dilihat dari isi atau materi yang dikandungnya.
Hukum modern dibuat atas dasar kepentingan dan maslahat bersama. Apa yang
menjadi kebaikan bagi rakyat banyak maka hal itulah yang diundangkan. Hukum
modern tidak memandang dirinya mengetahui segala hal. Ada batas-batas dimana
hukum tidak bisa menjawab semua persoalan yang ada dan diperlukan ketentuan
baru untuk mengaturnya. Sedangkan, kelompok-kelompok islam yang memaksa ingin
menerapkan hukum islam, memandang bahwa hukum tersebut tahu akan semua
kebutuhan manusia, dan tahu apa yang baik dan tidak baik bagi manusia.
Dalam pandangan yang lebih ekstrim, penerapan
hukum tuhan secara kaafah dipandang sebagai jalan|(satu-satunya) untuk mencapai
kemajuan dunia islam. Para fundamentalis ini memandang hukum islam sebagai
bagian sistem islam yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Oleh karena itu, tidak
mengherankan jika para penganut pemahaman seperti ini biasanya sangat keras
dengan mereka yang tidak sepaham. Apa yang membedakan diantara
kelompok-kelompok seperti: salafi, hizbut tahrir atau ikhwanul muslimin
hanyalah manhaj atau metodenya saja. Namun, pandangan mereka terhadap hukum
islam nyaris sama. Yang terakhir
apa yang membedakan hukum islam dengan hukum modern adalah, hukum islam
mengatur semua aspek kehidupan dari mulai urusan pribadi (private) sampai
dengan urusan publik (namun saya ragu apa benar hukum islam mengatur semua hal,
kenyataannya banyak hal yang hukum islam masih absen didalamnya seperti
teknologi informasi, perdagangan bebas, aplikasi teknologi dalam kehidupan
manusia, paling banter fatwa yang keluar hanya seputar ini boleh ini haram
tanpa ada penjelasan mendetail yang bisa mencerdaskan). Gonjang-ganjing
perubahan Undang-undang penanaman modal bisa kita ambil sebagai contoh yang
menarik. Undang-undang investasi atau penanamn modal ini sangatlah penting
karena menyangkut kehidupan perekonomian rakyat banyak. Namun, kebanyakan para
penyeru syariat islam speechless dengan isu yang satu ini. Kalaupun ada
(seperti hizbut-tahrir misalnya) mereka umumnya hanya meneriakan argumen dan
slogan-slogan lama kalau undang-undang penanaman modal tersebut hanya merugikan
rakyat dan hanya berpihak kepada pemodal atau kapitalis. Slogan-slogan demikian
hanyalah repetisi dari jargon-jargon kaum kiri, yang kalau mau jujur saya masih
bisa mengapresiasi kritik kaum kiri karena argumen yang mereka lontarkan jauh
lebih baik ketimbang kelompok islamis. Kelompok-kelompok islam hanya latah ikut
menentang undang-undang penanaman modal tanpa tahu persis duduk perkaranya.
Lebih jauh lagi, dalam pandangan kaum islamis,
apa yang dianggap sebagai fardhu ‘ain atau yang menyangkut halal-haram, maka
hal tersebut boleh di interfensi. Kalau perlu dengan menggunakan aparatus
negara seperti polisi. Meskipun hal tersebut menyangkut urusan yang sifatnya
pribadi atau private. Contohnya, jika anda tidak sholat, maka anda akan dihukum
karena menelantarkan kewajiban agama yang telah diatur oleh negara. Didalam
hukum modern agama atau keyakinan seseorang dimasukan kedalam wilayah private
yang negara tidak berhak ikut campur mengurusnya. Begitu juga masalah pakaian,
pergaulan dan masih banyak lagi. Ada kesan bahwa hukum islam yang ingin
diterapkan kelompok islamis menghendaki keseragaman, baik bagi pemeluknya
maupun warga negaranya.
Sedangkan,
hukum modern lebih menekankan pada pengaturan hukum publik. Hanya hukum publik
saja yang diatur dan dapat di intervensi oleh pemerintah. Adapun yang menjadi
kepentingan pribadi diatur oleh masing-masing individu (pembagian hukum publik
dan private merupakan ciri khas dari sistem hukum eropa kontinental. Namun
demikian, sistem hukum anglo saxon atau common law memiliki karakter yang sama
meski tidak menyebutkan hukum private secara eksplisit). Kalaupun diatur dalam
peraturan tertentu, maka penyelesaiannya kembali pada individu masing-masing.
Dalam hal ini negara hanya memfasilitasi saja. Hukum modern tidak mengatur
secara detail apa yang termasuk kedalam wilayah pribadi seperti keyakinan
beragama, masalah pakaian, etika pergaulan atau keluarga. Hal-hal tersebut
cukup dikembalikan pada pada individu dan masyarakat masing-masing.
Ketika negara tidak mengintervensi kehidupan
pribadi warganya, maka warga memiliki kebebasan untuk berbuat banyak hal tanpa
harus merasa diawasi. Kebebasan individu merupakan pra-syarat utama kemakmuran
suatu bangsa. Kemajuan negara-negara industri modern adalah karena negara
disana tidak mengintervensi kehidupan pribadi warganya secara mendetail.
Sistem hukum barat ini termasuk salah satu
lembaga yang penting dalam kehidupan modern. Hal ini dikarenakan, sistem hukum
barat memiliki keluwesan yang tidak dimiliki oleh hukum agama atau hukum islam.
Yang lebih penting lagi, perdebatan yang terjadi didalam proses pembuatan atau
perubahan hukum modern yang sekuler ini tidak membawa pada efek yang serius
seperti pengkafiran atau label sesat lainnya. Perdebatan seputar hukum modern
dianggap sebagai suatu yang wajar sehingga dapat merangsang ide-ide cemerlang
dalam merumuskan kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya
Visit Us:)
BalasHapus