Senin, 02 Januari 2017

Teknologi Pendidikan

Pergeseran Paradigma

A.      Pengertian Paradigma
Secara etimologis kata paradigma berasal dari bahasa Yunani paradegima yang berarti pattern (pola) atau example (contoh), dan dari kata paradeiknunai yang berarti demostrate atau mempertunjukkan, mepertontonkan.
Oxford English Dictionary mendefinisikan paradigma as “A Pattern or model, an example.”
Kuntowijoyo (1998: 327) mengungkapkan paradigma adalah sebuah cara dalam merumuskan kerangka teori yang dibangun berdasarkan mode of thought atau mode of inquiry agar menghasilakan mode of knowing.
Dari adanya paradigma ini melahirkan adanya kejelasan konsep, mekanisme penyelesaian, dan produk berpikir yang akan dihasilkan. Sejalan dengan hal tersebut, Immanuel Kant menyebutnya dengan istilah Skema Konseptual.[1]
Thomas Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of Scientific Revolution (1970), pergeseran paradigma adalah perubahan asumsi dasar atau paradigma dalam sains. Menurutnya, "paradigma adalah apa yang diyakini oleh anggota komunitas ilmiah" (The Essential Tension, 1977). Paradigma tidak terbatas kepada teori yang ada, tetapi juga semua cara pandang dunia dan implikasinya. Revolusi ilmiah berlangsung ketika ilmuwan menemukan keganjilan yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma mereka saat itu. Thomas Khun juga menyebutkan ada sekitar 22 definisi paradigma dalam ungkapan yang berbeda. Dalam ungkapannya paradigma adalah pencapaian-pencapaian (achievements) yang memiliki 2 karakteristik, yaitu:
1.      Pencapaian yang belum ada sebelumnya
2.      Bersifat luas (open-ended) yang meninggalkan sejumlah permasalahan untuk dipecahkan.
Pada bagian lain ia menyebutkan bahwa paradigma “… like an acceted judicial decision in the common law, it is an object for further articulation and specification under new or more stringent conditions.” Sedangkan pada postscrip-nya disebutkan “a paradigm is what the member of a scientific community share and conversely, a scientific community consist of men who share a paradigm.” (Suatu paradigma adalah apa yang dibagi/dimiliki bersama oleh sesuatu masyarakat ilmiah, dan sebaliknya, suatu masyarakat ilmiah menyumbang terhadap suatu paradigma). Maksud dari istilah “yang dimiliki bersama” adalah pengetahuan atau keyakinan yang menjadi pegangan suatu masyarakat ilmiah dalam mengerjakan/melaksanakan aktivitas ilmiahnya.
Secara umum, setidaknya terdapat lima manfaat dari paradigma , yaitu:
1.      Menciptakan arus inkuiri
2.      Merumuskan pertanyaan
3.      Memilih metode untuk menguji pertanyaan-pertanyaan
4.      Menentukan bidang-bidang yang relevan
5.      Membangun makna
Pergeseran paradigma pada masyarakat ilmiah diakibatkan oleh penemuan sejumlah anomali pada saat melakukan inkuiri berkenaan dengan suatu bidang kejadian.kondidsi ini menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma yang selama itu dianutnya. Alur kerja dalam membangun  paradigma tersebut dapat dillihat bagan berikut ini:
 
Gambar 1. Pergeseran Paradigma (Disarikan dari Khun, 1970)
Ketika muncul krisis kepercayaan terhadap suatu paradigma yang ada, maka terdapat tiga kemungkinan, yaitu:
a.         Mempertahankan paradigma yang dianut, hal ini akibat dari sains atau pengetahuan masih dapat mengatasi berbagai persoalan
b.        Mencari paradigma baru, bila mana sains belum mampu menjawab persoalan dan belum ada alat untuk membuktikkan. Untuk kemungkinan kedua ini dapat mengarah pada mempertahankan paradigma yang ada atau mengarah pada permunculan pra-paradigma baru.
c.         Pergeseran paradigma, hal ini akibat dari krisis yang ada langsung memunculkan satu atau lebih pra-paradigma.
Pra-paradigma tersebut setelah melalui pengkajian dan seleksi akan terlahir menjadi paradigma baru. Kemunculan paradigma baru ini tentu saja menjadi pesaing dari paradigma sebelumnya manakala paradigma tersebut semakin lama semakin diterima oleh masyarakat ilmiah.
B.     Pergeseran Paradigma Dalam Pendidikan
Terdapat sejumlah pencapaian (achievements) dalam filsafat, ilmu pengetahuan, teknologo, dan sosial budaya yang mendorong terjadinya pergeseran paradigma dalam pendidikan. Di samping secara internal, terjadi pengembangan konsep teori pendididkan yang dihasilkan dan penemuan dan inovasi, baik sebagai turunan konsep filsafat, pengujian dan penemuan konsep-konsep baru, maupun hasil modifikasi dari konsep-konsep pendidikan yang sudah digunakan. Didasarkan atas kondisi yang ada, adakalanya praktik pendidikan berjalan tidak bersifat linear, akibat dari keanekaragaman situasi dan kondisi yang memengaruhinya, seperti tuntutan kebutuhan peserta didik maupun berbagai faktor yang memiliki keterkaitan dengan praktik pendidikan. Pada awalnya, kedudukan guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi kemudian terjadi pergeseran pemahaman menjadi kedudukan yang sama dengan sumber-sumber informasi lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya sumber-sumber informasi tersebut dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik secara khusus dan mandiri. Pemahaman seperti ini mendorong lahirnya pengakuan bahwa terdapat banyak sumber informasi di sekeliling peserta didik dan dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengalaman belajarnya. Perkembangan pemahaman semacam ini sejalan pula dengan pengakuan atas klarifikasi sumber belajar yang terjadi atas human resources and non-human resources, yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman belajar peserta didik.
Secara historik pergeseran paradigma yang memiliki keterkaitan dengan perubahan acuan filsafat tergambar dari perubahan yang terjadi pada abad pertengahan ke arah masa pendidikan modern dan postmodern. Perubahan ke arah pendidikan modern tidak terlepas dari munculnya “renaissance” atau “enlightenment” yang diawali dengan perubahan secara revolusioner dalam pemikiran manusia dan membentuik suatu pola pemikiran baru dalam filsafat. Mulai masa renaissance kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan didasarkan atas kepercayaan dan pembuktian secara ilmiah dengan dibuktikan melalui metode, dan konsep yang dapat di verifikasi kebenarannya, sehingga kebenaran bersifat nisbi dapat digugurkan manakala dihasilkan kajian-kajian  yang lebih meyakinkan kebenarannya. Kondisi ini mengarahkan pada pemahaman bahwa pergeseran paradigma dari periode filsafat abad pertengahan ke arah zaman modern banyak ditandai oleh pengagungan otoritas kemampuan akal manusia.
Perkembangan pola pikir pada zaman modern menghasilkan persoalan pada epistomologi atau metode pemikiran ilmiah yang mengarah pada pertanyaan-pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan, apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Dalam filsafat abad 17 terdapat dua aliran filsafat yang sangat kontras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu filsafat rasionalisme dan empirisme.
Filsafat rasionalisme banyak mengandalkan kemampuan akal (rasio) dalam menetapkan sumber pengetahuan. Pengetahuan yang bersumber pada akal yang memenuhi persyaratan sesuai dengan tuntunan umum dan bersifat mutlak. Filsafat ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang ada adalah bersifat a priori yang mendasarkan pada pengetahuan yang terdahulu, sehingga seakan-akan mengetahui secara pasti gejala yang ada walaupun belum mempunyai pengalaman secara indrawi.
Lahirnya, filsafat realisme sangat bersebrangan dengan para ahli filsafat rasionalisme. Filsafat realisme tidak sejalan dengan pemikiran yang didasarkan atas a priori, menurutnya pengetahuan itu tersusun dari sesuatu yang telah terjadi sehingga metode yang digunakannya adalah metode a post-teriori. Didasarkan atas pemikirannya bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan yang dapat menghasilkan  kesan (impression) dan pengertian (idea). Aliran filsafat ini adalah metode inqury yang cermat dan hati-hati terhadap gejala yang terdapat dalam objek yang menjadi kajiannya.
Immanual Kant (1724 – 1804) berusaha menjembatani dan menggabungkan kedua aliran filsafat, melalui pemikirannya. Kant berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil terakhir yang diperoleh dengan adanya kerjasama diantara dua komponen, yaitu berupa hasil-hasil dari pengalaman indrawi dan cara pengolahan kesan-kesan yang diperolehnya melalui pengolahan rasio, sehingga diperoleh pengetahuan yang komprehensif dan merupakan sebab akibat dari keduanya. Pengetahuan rasional dengan analisis a priori memiliki karakteristik universal akan tetapi tidak dapat memberikan informasi baru, sedangkan pengetahuan empiris yang menggunakan sintesis a postteriori dapat memberikan informasi baru akan tetapi kebenarannya tidak universal. Pengetahuan seharusnya sinthesis-a priori, yaitu pengetahuan yang bersumber pada rasio dan empiris  yang sekaligus bersifat a priori dan a posteriori, dan dalam kondisi yang serentak akal dan pengalaman indrawi mengkaji objek-objek pengetahuan itu sendiri.
Abad ke-19 terdapat pengulangan dan pengurangan filsafat rasionalisme abad ke-17 yang merupakan pengaruh pula dari adanya filsafat idealisme. Pemahaman filsafat idealisme menyatakan bahwa pendidikan pada hakikatnya tidak hanya menekankan pada pengembangan akal pikiran saja, akan tetapi juga perlu mendorong peserta didik untuk memfokuskan belajarnya pada hal-hal yang mengandung nilai-nilai tertentu. Salah satu yang menjadi perhatian filsafat idealisme adalah berkaitan dengan mencari kebenaran. Peserta didik perlu didorong untuk memperkaya diri melalui pengamatan tentang pemaknaan dari dunia nyata dan bukan hanya didasarkan atas persepsi nyata dari hasil pengamatan indrawi. Pemahaman metode dialektis dari filsafat ini, merupakan metode yang terpilih untuk memunculkan sikap kritis pada diri peserta didik. Dalam buku republika milik Plato, mengungapkan secara esensial bahwa dalam metode dialektis terdapat suatu proses untuk mempertentangkan ide secara substansial, lalu disintesiskan pada akhirnya akan melahirkan konsep universal.
Paradigma lain dikembangkan oleh auguste comte (1798 – 1857) yang dikemas dalam pemikiran filsafat positivesme comte atau disebut juga faham empirisme-kritis. Semboyan yang terkenal dari comte adalah savior pour previor (memperoleh pengetahuan untuk melahirkan tindakan)dalam makan bahwa manusia perlu memperoleh informasi dari gejala-gejala yang ada serta hubungan diantara gejala-gejala tersebut agar ia dapat mengantisipasi kecenderungan apa yang akan terjadi sehingga memudahkan untuk menetapkan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan merupakan suatu aktivitas sosial, bahkan pendidikan merupakan proses untuk menyadarkan setiap individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan individu lain dan masyarakat di dalam rangka membentuk komunitas. Proses dinamika pembentukan komunitas ini disebut dengan hukum evolusi.
Abad ke-20 ditandai oleh lahirnya berbagai aliran filsafat yang merupakan lanjutan kajian aliran-aliran filsafat yang berkembang pada abad modern, seperti :
a.          Fenomologi, dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 – 1938) memiliki paradigma bahwa kajian ilmu didasarkan pada apa yang tampak atau apa yang menampakkan diri secara fenomologis.
b.        Eksistensi, juga menunjukkan pemberontakan pada paradigma yang berkembang pada filsafat barat. Jean Paul Sartre (1950 – 1980) menekankan adanya perbedaan antara rasio dialektis dengan rasio analisis. Ali Maksum dan Luluk (20014:58) mengangkat pemahaman Titus yang menyatakan aliran-aliran filsafat eksistensialisme:
1.      Aliran ini merupakan kritik terhadap filsafat rasionalisme dan masyarakat modern
2.      Kritik terhadap konsep-konsep, filsafat akademis, yang tidak didasarkan atas kondisi yang nyata
3.      Kritik terhadap kondisi kehidupan yang tanpa kepribadian, masyarakat industri modern dan pengaruh teknologi yang menciptakan manusia yang tunduk pada mesin
4.      Protes terhadap gerakan totaliter, seperti fasis dan komunis yang cenderung banyak yang menghancurkan individu didalam kehidupan masyarakat
5.      Banyak memberikan perhatian pada kondisi dan kecenderungan kehidupan manusia diatas dunia
6.      Fokus pada keunikan dan eksistensi, pengalaman kehidupan manusia secara mendalam.
c.       Filsafat strukturalisme, memandang bahwa pada kenyataannya manusia itu terkungkung oleh berbagai struktur di dalam kehidupannya, tidak bersifat otonom dan selalu tunduk kepada kondisi sistem. Aliran filsafat ini terdapat dua pemahaman, yaitu
1.      Aliran ini merupakan metodelogi untuk mengkaji ilmu-ilmu kemasyarakatan
2.      Aliran ini fokus terhadap pemahaman berbagaimacam aspek yang berkaitan dengan manusia dan masyarakat serta hubungannya dengan faktor lingkungan.
d.      Filsafat pragmatisme, berkembang pada abad ke-20 oleh William James (1842 – 1910). Filsafat ini memiliki kriteria penetapan kebenaran yang berfokus pada pemanfaatan akibat-akibat praktis dari pemikiran  dan kepercayaan.
e.       Postmodernisme, penghujung abad ke-20 pemikiran ini merambah ke dalam berbagai aspek pemikiran dalam kehidupan. Dalam dunia pendidikan pengaruh pemikiran modernisme ini dapat terlihat dalam meneorikan kurikulum yang dipandang sebagai sesuatu yang pasti, memiliki hepotesa yang sistematis, dan hipotesis diverifikasi untuk memperoleh infomasi tentang kesahihannya. Yeaman dalam (Jonassen, 1996:263) berpendapat bahwa post-modernisme mampu memberikan suatu dukungan dan fondasi teoretik untuk:
1.      Pola pikir non-linear
2.      Multivokalitas dan paradigma penelitian alternatif
3.      Pendekatan estetis/kritis pada ilmu pengetahuan
4.      Bacaan-bacaan yang lekat dan dekonstruktif untuk memberikan analisis yang cermat dan mendalam terhadap peran teknologi informasi
5.      Hubungan intertekstual
6.      Strategi-strategi yang tidak memusat membantu para peneliti untuk tidak terfokus pada pertanyaan-pertanyaan tradisonal dan memfokuskannya kembali pada cara-cara yang baru dan jelas
7.      Suatu hubungan yang lebih erat antara sains dan seni, serta antara mode fiksional dan non-fiksional dari analisis dan presentasi.
C.     Kondisi Objektif Paradigma dalam Pendidikan
Pergeseran paradigma pendidikan akibat pengaruh perubahan pola fikir filsafat di atas menunjukkan adanya dua paradigma pendidikan, yaitu paradigma lama dan paradigma baru. Kedua paradigma tersebut memiliki perbedaan karakteristik, baik secara teoritik maupun dalam praksisnya. Paradigma lama yang dipengaruhi oleh pola fikir pada masanya dipahami sebagai penyelenggaraan pendidikan untuk mendewasakan anak didik yang belum dewasa. Peserta didik sebagai objek pendidikan yang harus dilayani pendidik sebagai orang dewasa, baik dari segi tujuan yang harus dicapainya, proses pendidikan yang harus diikutinya, maupun penetapan hasil pendidikan yang diperolehnya.
Park dalam Jonassen (1996: 666) mengungkapkan bahwa pendidikan yang menggunakan paradigma lama dilaksanakan berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini:
a.       Pendidik mentransfer pembelajaran secara mudah dengan mempelajari konsep abstrak dan adakalanya konsep yang disampaikan tidak berhubungan dengan konteksnya
b.      Peserta didik merupakan penerima pengetahuan
c.       Pembelajaran bersifat behavioristik dan melibatkan penguatan stimulus dan respon
d.      Peserta didik dalam keadaan kosong yang siap diisi dengan pengetahuan
e.       Keterampilan dan pengetahuan sangat baik diperoleh dengan terlepas dari konteksnya.
Pendidikan dengan paradigma lama berasumsi bahwa dengan mempelejari konsep-konsep abstrak yang sudah dirumuskan oleh pendidik memudahkan peserta didik untuk memahami dan menerapkan dalam kehidupan baik dalam waktu yang dekat maupun yang akan datang. Pengertian-pengertian abstrak seperti hukum dan dalil yang disusun dalam rumus-rumus tertentu oleh pendidik dan diajarkannya kepada peserta didik, sehingga diduga mereka mudah memahami dan mengaplikasikannya dalam realita kehidupan. Padahal kondisi yang nyata ditemukan adanya kesulitan pesrta didik untuk memahami konsep-konsep yang abstrak dan jauh dari realitas kehidupan yang kurang nebdapatkan perhatian dan pemecahan lebih lanjut.
Bergesernya paradigma lama ke arah paradigma baru dalam pendidikan diperoleh beberapa asumsi yang berkembang dalam konsep dan praksis pendidikan, yaitu:
a.       Pendidik akan mengalami kesulitan mentransfer bahan ajar manakala kurang memperhatikan karakteristik peserta didik, bahan ajar, proses dan faktor-faktor yang memiliki keterkaitan dengan proses pembelajaran
b.      Peserta didik menjadi fokus utama dalam pendidikan dan berfungsi sebagai konstruktor pengetahuan yang aktif
c.       Bahan ajar bersifat kognitif yang memiliki perkembangan sesuai dengan perkembangan ilmu dan pertumbuhan masyarakat
d.      Kebutuhan belajar menjadi fokus dan sumber penetapan program kurikulum beserta pembelajaran yang dikiuti peserta didik
e.       Pengalaman belajar yang mengandung pengetahuan dan keterampilan akan lebih tepat manakala disajikan dalam kondisi yang realistik
f.       Penilaian perlu dilakukan secara realistik dan komperhensif sebagai unjuk kerja peserta didik dalam mengikuti pengalaman belajarnya.
Adanya kesadaran bahwa paradigma baru belajar memiliki asumsi bahwa baik itu belajar mengenai muatan/isi maupun konteks sama-sama diperlukan ahar terjadi transfer pembelajaran. Pembelajaran akan sangat dimungkinkan jika ditransfer dari situasi-situasi pembelajaran yang kompleks dan kaya. Oleh karenanya, aktivitas pembelajaran itu harus membantu para siswa untuk berpikir secara mendalam mengenai muatan dalam konteks yang relevan lagi realistik. Peran guru pun berdasarkan asumsi ini tidak mendominasi proses belajar mengajar, malahan sebaliknya siswalah yang harus lebih dominan dan aktif.




[1] Prof. Dr. Ishak Abdulhak, Teknologi Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2013, hlm. 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar