Pergeseran Paradigma
A.
Pengertian Paradigma
Secara etimologis kata
paradigma berasal dari bahasa Yunani paradegima yang berarti pattern (pola) atau example (contoh), dan dari kata paradeiknunai yang berarti demostrate atau mempertunjukkan,
mepertontonkan.
Oxford English Dictionary mendefinisikan paradigma
as “A Pattern or model, an example.”
Kuntowijoyo (1998: 327) mengungkapkan paradigma adalah sebuah cara
dalam merumuskan kerangka teori yang dibangun berdasarkan mode of thought atau
mode of inquiry agar menghasilakan mode of knowing.
Dari adanya paradigma ini melahirkan adanya kejelasan konsep,
mekanisme penyelesaian, dan produk berpikir yang akan dihasilkan. Sejalan
dengan hal tersebut, Immanuel Kant menyebutnya dengan istilah Skema
Konseptual.[1]
Thomas Kuhn dalam bukunya yang terkenal The Structure of
Scientific Revolution (1970), pergeseran
paradigma adalah perubahan
asumsi dasar atau paradigma dalam sains.
Menurutnya, "paradigma adalah apa yang diyakini oleh anggota komunitas
ilmiah" (The Essential Tension, 1977). Paradigma tidak terbatas
kepada teori yang ada, tetapi juga semua cara pandang dunia dan implikasinya.
Revolusi ilmiah berlangsung ketika ilmuwan menemukan keganjilan yang tak dapat
dijelaskan oleh paradigma mereka saat itu. Thomas Khun juga menyebutkan ada sekitar 22 definisi paradigma dalam ungkapan yang
berbeda. Dalam ungkapannya paradigma adalah pencapaian-pencapaian (achievements)
yang memiliki 2 karakteristik, yaitu:
1.
Pencapaian
yang belum ada sebelumnya
2.
Bersifat
luas (open-ended) yang meninggalkan sejumlah permasalahan untuk
dipecahkan.
Pada
bagian lain ia menyebutkan bahwa paradigma “… like an acceted judicial
decision in the common law, it is an object for further articulation and
specification under new or more stringent conditions.” Sedangkan pada postscrip-nya
disebutkan “a paradigm is what the member of a scientific community share
and conversely, a scientific community consist of men who share a paradigm.” (Suatu
paradigma adalah apa yang dibagi/dimiliki bersama oleh sesuatu masyarakat
ilmiah, dan sebaliknya, suatu masyarakat ilmiah menyumbang terhadap suatu
paradigma). Maksud dari istilah “yang dimiliki bersama” adalah
pengetahuan atau keyakinan yang menjadi pegangan suatu masyarakat ilmiah dalam
mengerjakan/melaksanakan aktivitas ilmiahnya.
Secara
umum, setidaknya terdapat lima manfaat dari paradigma , yaitu:
1. Menciptakan arus inkuiri
2. Merumuskan pertanyaan
3. Memilih metode untuk menguji pertanyaan-pertanyaan
4. Menentukan bidang-bidang yang relevan
5. Membangun makna
Pergeseran
paradigma pada masyarakat ilmiah diakibatkan oleh penemuan sejumlah anomali
pada saat melakukan inkuiri berkenaan dengan suatu bidang kejadian.kondidsi ini
menimbulkan krisis kepercayaan terhadap paradigma yang selama itu dianutnya.
Alur kerja dalam membangun paradigma
tersebut dapat dillihat bagan berikut ini:
Ketika muncul krisis
kepercayaan terhadap suatu paradigma yang ada, maka terdapat tiga kemungkinan,
yaitu:
a.
Mempertahankan paradigma yang dianut, hal
ini akibat dari sains atau pengetahuan masih dapat mengatasi berbagai persoalan
b.
Mencari paradigma baru, bila mana sains
belum mampu menjawab persoalan dan belum ada alat untuk membuktikkan. Untuk
kemungkinan kedua ini dapat mengarah pada mempertahankan paradigma yang ada
atau mengarah pada permunculan pra-paradigma baru.
c.
Pergeseran paradigma, hal ini akibat dari
krisis yang ada langsung memunculkan satu atau lebih pra-paradigma.
Pra-paradigma tersebut setelah
melalui pengkajian dan seleksi akan terlahir menjadi paradigma baru. Kemunculan
paradigma baru ini tentu saja menjadi pesaing dari paradigma sebelumnya
manakala paradigma tersebut semakin lama semakin diterima oleh masyarakat
ilmiah.
B. Pergeseran Paradigma Dalam Pendidikan
Terdapat sejumlah pencapaian (achievements)
dalam filsafat, ilmu pengetahuan, teknologo, dan sosial budaya yang mendorong
terjadinya pergeseran paradigma dalam pendidikan. Di samping secara internal,
terjadi pengembangan konsep teori pendididkan yang dihasilkan dan penemuan dan
inovasi, baik sebagai turunan konsep filsafat, pengujian dan penemuan
konsep-konsep baru, maupun hasil modifikasi dari konsep-konsep pendidikan yang
sudah digunakan. Didasarkan atas kondisi yang ada, adakalanya praktik pendidikan
berjalan tidak bersifat linear, akibat dari keanekaragaman situasi dan kondisi
yang memengaruhinya, seperti tuntutan kebutuhan peserta didik maupun berbagai
faktor yang memiliki keterkaitan dengan praktik pendidikan. Pada awalnya,
kedudukan guru dianggap sebagai satu-satunya sumber informasi kemudian terjadi
pergeseran pemahaman menjadi kedudukan yang sama dengan sumber-sumber informasi
lain. Bahkan pada perkembangan selanjutnya sumber-sumber informasi tersebut
dapat memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik secara khusus dan
mandiri. Pemahaman seperti ini mendorong lahirnya pengakuan bahwa terdapat
banyak sumber informasi di sekeliling peserta didik dan dapat dimanfaatkan
untuk meningkatkan pengalaman belajarnya. Perkembangan pemahaman semacam ini
sejalan pula dengan pengakuan atas klarifikasi sumber belajar yang terjadi atas
human resources and non-human resources, yang pada gilirannya dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan wawasan dan pengalaman belajar peserta didik.
Secara historik pergeseran paradigma yang
memiliki keterkaitan dengan perubahan acuan filsafat tergambar dari perubahan
yang terjadi pada abad pertengahan ke arah masa pendidikan modern dan
postmodern. Perubahan ke arah pendidikan modern tidak terlepas dari munculnya “renaissance”
atau “enlightenment” yang diawali dengan perubahan secara revolusioner
dalam pemikiran manusia dan membentuik suatu pola pemikiran baru dalam
filsafat. Mulai masa renaissance kebenaran filsafat dan ilmu pengetahuan
didasarkan atas kepercayaan dan pembuktian secara ilmiah dengan dibuktikan
melalui metode, dan konsep yang dapat di verifikasi kebenarannya, sehingga
kebenaran bersifat nisbi dapat digugurkan manakala dihasilkan
kajian-kajian yang lebih meyakinkan kebenarannya.
Kondisi ini mengarahkan pada pemahaman bahwa pergeseran paradigma dari periode
filsafat abad pertengahan ke arah zaman modern banyak ditandai oleh pengagungan
otoritas kemampuan akal manusia.
Perkembangan pola pikir pada zaman modern
menghasilkan persoalan pada epistomologi atau metode pemikiran ilmiah yang
mengarah pada pertanyaan-pertanyaan bagaimana manusia memperoleh pengetahuan,
apa yang dimaksud dengan kebenaran itu sendiri. Dalam filsafat abad 17 terdapat
dua aliran filsafat yang sangat kontras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
tersebut, yaitu filsafat rasionalisme dan empirisme.
Filsafat rasionalisme banyak mengandalkan
kemampuan akal (rasio) dalam menetapkan sumber pengetahuan. Pengetahuan yang
bersumber pada akal yang memenuhi persyaratan sesuai dengan tuntunan umum dan
bersifat mutlak. Filsafat ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang ada adalah
bersifat a priori yang mendasarkan pada pengetahuan yang terdahulu,
sehingga seakan-akan mengetahui secara pasti gejala yang ada walaupun belum
mempunyai pengalaman secara indrawi.
Lahirnya, filsafat realisme sangat
bersebrangan dengan para ahli filsafat rasionalisme. Filsafat realisme tidak
sejalan dengan pemikiran yang didasarkan atas a priori, menurutnya
pengetahuan itu tersusun dari sesuatu yang telah terjadi sehingga metode yang
digunakannya adalah metode a post-teriori. Didasarkan atas pemikirannya
bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan yang dapat menghasilkan kesan (impression) dan pengertian (idea).
Aliran filsafat ini adalah metode inqury yang cermat dan hati-hati
terhadap gejala yang terdapat dalam objek yang menjadi kajiannya.
Immanual Kant (1724 – 1804) berusaha
menjembatani dan menggabungkan kedua aliran filsafat, melalui pemikirannya.
Kant berpendapat bahwa pengetahuan adalah hasil terakhir yang diperoleh dengan
adanya kerjasama diantara dua komponen, yaitu berupa hasil-hasil dari
pengalaman indrawi dan cara pengolahan kesan-kesan yang diperolehnya melalui
pengolahan rasio, sehingga diperoleh pengetahuan yang komprehensif dan
merupakan sebab akibat dari keduanya. Pengetahuan rasional dengan analisis a
priori memiliki karakteristik universal akan tetapi tidak dapat memberikan
informasi baru, sedangkan pengetahuan empiris yang menggunakan sintesis a
postteriori dapat memberikan informasi baru akan tetapi kebenarannya tidak universal.
Pengetahuan seharusnya sinthesis-a priori, yaitu pengetahuan yang
bersumber pada rasio dan empiris yang
sekaligus bersifat a priori dan a posteriori, dan dalam kondisi
yang serentak akal dan pengalaman indrawi mengkaji objek-objek pengetahuan itu
sendiri.
Abad ke-19 terdapat pengulangan dan
pengurangan filsafat rasionalisme abad ke-17 yang merupakan pengaruh pula dari
adanya filsafat idealisme. Pemahaman filsafat idealisme menyatakan bahwa
pendidikan pada hakikatnya tidak hanya menekankan pada pengembangan akal
pikiran saja, akan tetapi juga perlu mendorong peserta didik untuk memfokuskan
belajarnya pada hal-hal yang mengandung nilai-nilai tertentu. Salah satu yang
menjadi perhatian filsafat idealisme adalah berkaitan dengan mencari kebenaran.
Peserta didik perlu didorong untuk memperkaya diri melalui pengamatan
tentang pemaknaan dari dunia nyata dan bukan hanya didasarkan atas persepsi
nyata dari hasil pengamatan indrawi. Pemahaman metode dialektis dari
filsafat ini, merupakan metode yang terpilih untuk memunculkan sikap kritis
pada diri peserta didik. Dalam buku republika milik Plato, mengungapkan secara
esensial bahwa dalam metode dialektis terdapat suatu proses untuk
mempertentangkan ide secara substansial, lalu disintesiskan pada akhirnya akan
melahirkan konsep universal.
Paradigma lain dikembangkan oleh auguste comte
(1798 – 1857) yang dikemas dalam pemikiran filsafat positivesme comte
atau disebut juga faham empirisme-kritis. Semboyan yang terkenal dari
comte adalah savior pour previor (memperoleh pengetahuan untuk
melahirkan tindakan)dalam makan bahwa manusia perlu memperoleh informasi dari
gejala-gejala yang ada serta hubungan diantara gejala-gejala tersebut agar ia
dapat mengantisipasi kecenderungan apa yang akan terjadi sehingga memudahkan
untuk menetapkan solusi untuk mengatasinya. Pendidikan merupakan suatu
aktivitas sosial, bahkan pendidikan merupakan proses untuk menyadarkan setiap
individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan individu lain dan masyarakat di
dalam rangka membentuk komunitas. Proses dinamika pembentukan komunitas ini
disebut dengan hukum evolusi.
Abad ke-20 ditandai oleh lahirnya berbagai
aliran filsafat yang merupakan lanjutan kajian aliran-aliran filsafat yang
berkembang pada abad modern, seperti :
a.
Fenomologi, dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859 –
1938) memiliki paradigma bahwa kajian ilmu didasarkan pada apa yang tampak atau
apa yang menampakkan diri secara fenomologis.
b.
Eksistensi, juga menunjukkan pemberontakan pada
paradigma yang berkembang pada filsafat barat. Jean Paul Sartre (1950 – 1980)
menekankan adanya perbedaan antara rasio dialektis dengan rasio analisis. Ali
Maksum dan Luluk (20014:58) mengangkat pemahaman Titus yang menyatakan
aliran-aliran filsafat eksistensialisme:
1.
Aliran ini merupakan kritik terhadap filsafat
rasionalisme dan masyarakat modern
2.
Kritik terhadap konsep-konsep, filsafat
akademis, yang tidak didasarkan atas kondisi yang nyata
3.
Kritik terhadap kondisi kehidupan yang tanpa
kepribadian, masyarakat industri modern dan pengaruh teknologi yang menciptakan
manusia yang tunduk pada mesin
4.
Protes terhadap gerakan totaliter, seperti
fasis dan komunis yang cenderung banyak yang menghancurkan individu didalam
kehidupan masyarakat
5.
Banyak memberikan perhatian pada kondisi dan
kecenderungan kehidupan manusia diatas dunia
6.
Fokus pada keunikan dan eksistensi, pengalaman
kehidupan manusia secara mendalam.
c. Filsafat strukturalisme, memandang bahwa pada kenyataannya manusia itu terkungkung
oleh berbagai struktur di dalam kehidupannya, tidak bersifat otonom dan selalu
tunduk kepada kondisi sistem. Aliran filsafat ini terdapat dua pemahaman, yaitu
1. Aliran ini merupakan metodelogi untuk mengkaji ilmu-ilmu kemasyarakatan
2. Aliran ini fokus terhadap pemahaman berbagaimacam aspek yang berkaitan
dengan manusia dan masyarakat serta hubungannya dengan faktor lingkungan.
d. Filsafat pragmatisme, berkembang pada abad ke-20 oleh William James (1842 –
1910). Filsafat ini memiliki kriteria penetapan kebenaran yang berfokus pada
pemanfaatan akibat-akibat praktis dari pemikiran dan kepercayaan.
e. Postmodernisme, penghujung abad ke-20 pemikiran ini merambah ke dalam berbagai aspek
pemikiran dalam kehidupan. Dalam dunia pendidikan pengaruh pemikiran modernisme
ini dapat terlihat dalam meneorikan kurikulum yang dipandang sebagai sesuatu yang
pasti, memiliki hepotesa yang sistematis, dan hipotesis diverifikasi untuk
memperoleh infomasi tentang kesahihannya. Yeaman dalam (Jonassen, 1996:263)
berpendapat bahwa post-modernisme mampu memberikan suatu dukungan dan fondasi
teoretik untuk:
1. Pola pikir non-linear
2.
Multivokalitas dan paradigma penelitian alternatif
3.
Pendekatan estetis/kritis pada ilmu
pengetahuan
4.
Bacaan-bacaan yang lekat dan dekonstruktif
untuk memberikan analisis yang cermat dan mendalam terhadap peran teknologi
informasi
5.
Hubungan intertekstual
6. Strategi-strategi yang tidak memusat membantu para peneliti untuk tidak
terfokus pada pertanyaan-pertanyaan tradisonal dan memfokuskannya kembali pada
cara-cara yang baru dan jelas
7.
Suatu hubungan yang lebih erat antara sains
dan seni, serta antara mode fiksional dan non-fiksional dari analisis dan
presentasi.
C. Kondisi Objektif Paradigma
dalam Pendidikan
Pergeseran paradigma pendidikan akibat pengaruh perubahan pola
fikir filsafat di atas menunjukkan adanya dua paradigma pendidikan, yaitu paradigma
lama dan paradigma baru. Kedua paradigma tersebut memiliki perbedaan
karakteristik, baik secara teoritik maupun dalam praksisnya. Paradigma lama
yang dipengaruhi oleh pola fikir pada masanya dipahami sebagai penyelenggaraan
pendidikan untuk mendewasakan anak didik yang belum dewasa. Peserta didik
sebagai objek pendidikan yang harus dilayani pendidik sebagai orang dewasa,
baik dari segi tujuan yang harus dicapainya, proses pendidikan yang harus
diikutinya, maupun penetapan hasil pendidikan yang diperolehnya.
Park dalam Jonassen (1996: 666) mengungkapkan bahwa pendidikan yang
menggunakan paradigma lama dilaksanakan berdasarkan asumsi-asumsi berikut ini:
a.
Pendidik
mentransfer pembelajaran secara mudah dengan mempelajari konsep abstrak dan adakalanya
konsep yang disampaikan tidak berhubungan dengan konteksnya
b.
Peserta
didik merupakan penerima pengetahuan
c.
Pembelajaran
bersifat behavioristik dan melibatkan penguatan stimulus dan respon
d.
Peserta
didik dalam keadaan kosong yang siap diisi dengan pengetahuan
e.
Keterampilan
dan pengetahuan sangat baik diperoleh dengan terlepas dari konteksnya.
Pendidikan
dengan paradigma lama berasumsi bahwa dengan mempelejari konsep-konsep abstrak
yang sudah dirumuskan oleh pendidik memudahkan peserta didik untuk memahami dan
menerapkan dalam kehidupan baik dalam waktu yang dekat maupun yang akan datang.
Pengertian-pengertian abstrak seperti hukum dan dalil yang disusun dalam
rumus-rumus tertentu oleh pendidik dan diajarkannya kepada peserta didik,
sehingga diduga mereka mudah memahami dan mengaplikasikannya dalam realita
kehidupan. Padahal kondisi yang nyata ditemukan adanya kesulitan pesrta didik
untuk memahami konsep-konsep yang abstrak dan jauh dari realitas kehidupan yang
kurang nebdapatkan perhatian dan pemecahan lebih lanjut.
Bergesernya
paradigma lama ke arah paradigma baru dalam pendidikan diperoleh beberapa
asumsi yang berkembang dalam konsep dan praksis pendidikan, yaitu:
a.
Pendidik
akan mengalami kesulitan mentransfer bahan ajar manakala kurang memperhatikan
karakteristik peserta didik, bahan ajar, proses dan faktor-faktor yang memiliki
keterkaitan dengan proses pembelajaran
b.
Peserta didik menjadi fokus
utama dalam pendidikan dan berfungsi sebagai konstruktor pengetahuan yang aktif
c.
Bahan
ajar bersifat kognitif yang memiliki perkembangan sesuai dengan perkembangan
ilmu dan pertumbuhan masyarakat
d.
Kebutuhan
belajar menjadi fokus dan sumber penetapan program kurikulum beserta
pembelajaran yang dikiuti peserta didik
e.
Pengalaman
belajar yang mengandung pengetahuan dan keterampilan akan lebih tepat manakala
disajikan dalam kondisi yang realistik
f.
Penilaian
perlu dilakukan secara realistik dan komperhensif sebagai unjuk kerja peserta
didik dalam mengikuti pengalaman belajarnya.
Adanya
kesadaran bahwa paradigma baru belajar memiliki asumsi bahwa baik itu belajar
mengenai muatan/isi maupun konteks sama-sama diperlukan ahar terjadi transfer
pembelajaran. Pembelajaran akan sangat dimungkinkan jika ditransfer dari
situasi-situasi pembelajaran yang kompleks dan kaya. Oleh karenanya, aktivitas
pembelajaran itu harus membantu para siswa untuk berpikir secara mendalam
mengenai muatan dalam konteks yang relevan lagi realistik. Peran guru pun
berdasarkan asumsi ini tidak mendominasi proses belajar mengajar, malahan
sebaliknya siswalah yang harus lebih dominan dan aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar